Mengapa Ampera Dibangun?
Kamis, 06 November 2008
BAGI warga Palembang yang ingin menatap jembatan Ampera tidak perlu ilmu pengetahuan yang luas, keyakinan agama yang kuat, atau sekolah hingga ke luar negeri. Cukup keinginan dan sedikit uang buat ongkos angkutan umum atau beli bensin, jika rumah agak dari jauh dari jembatan Ampera.
Ampera bukan sesuatu yang harus diperdebatkan melalui pemikiran filsafat yang rumit dan panjang. Ampera sesuatu yang hadir atas kebutuhan efektifitas waktu dan daya untuk menyeberangi sungai Musi di pertengahan tahun 1960-an, seperti halnya seorang ibu membeli kompor gas atau kompor minyak tanah karena tidak mau lagi menggunakan kayu bakar atau arang, yang membuat dinding dapur langas, wajah dan rambutnya bau asap.
Namun, jembatan Ampera menjadi sebuah ilmu pengetahuan ketika proses penggunaannya mengalami berbagai penandaan atas dirinya. Bukan sebatas menatap, sudah menginginkan sesuatu yang lain atas sosok jembatan Ampera. Semacam proses pemitosan atas benda-benda. Selanjutnya muncul kecemasan; apa yang terjadi pada eksistensi sungai Musi, jika jembatan Ampera roboh atau tergantikan dengan jembatan lain?
Orang selalu berbisik, ”Ampera itu ikon kota Palembang.”
Sungguh mengerikan. Ikon yang memiliki umur. Ikon yang sering diperdebatan atas lintasan pemaknaan. Entahlah.
Tampaknya kita harus menjadi anak-anak prasekolah, terus membuka mulutnya dari jendela mobil ketika matanya menatap jembatan Ampera. Mungkin anak-anak prasekolah itu bodoh, lantaran tidak bertanya, mengapa Ampera dibangun? Ya, kekaguman dan keterkejutan kian menjadi mahal. Yang memilikinya tampak bodoh, kampungan, dan tidak kritis.
Jadi, tidak heran kita berlomba menjadi bodoh dengan mengunjungi Bangkok, Singapura, Paris, atau New York, meskipun tidak ada jembatan Ampera apalagi sungai Musi di sana. [*].